gravatar

Kakawin Sutasoma Mpu Tantular


Judul buku = Kakawin Sutasoma Mpu Tantular
Penerbit = Komunitas Bambu, Agustus 2009
Penterjemah = Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo

Bagiku, buku yang mengulas Sutasoma merupakan “buku langka”. Menjadi langka karena isinya adalah hal sangat mendasar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, akan tetapi sedikit yang beredar di masyarakat. Dari sekian puluh ribu judul buku yang ada di Jogja, hanya ada sedikit yang mengulas Sutasoma, itupun beberapa yang dalam bahasa Inggris. Selain itu juga karena inspirasi2 spiritual yang sangat mengesankan, yang tentu saja tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Tulisan di bawah ini adalah bagian pengantar dari buku ini dan di bawahnya adalah bait yang aku pandang menarik.


(hal. xiii)
Sekilas Tentang Kakawin Sutasoma
Karya sastra Jawa Kuno adalah karya yang digubah oleh para pujangga di masa Jawa Kuno. Abad ke-9 adalah awal dari tradisi tulis sastra dengan bahasa/aksara Jawa Kuno, yaitu Ramayana. Tradisi tulis ini terputus cukup lama, hingga pada abad ke-13 – berdirinya Majapahit – tradisi karya tulis sastra ini kembali dan mengalami masa kejayaannya hingga akhir abad ke-14. Karya Sastra Jawa Kuno yang dianggap sebagai karya sastra besar dan melampaui zamannya adalah kakawin Ramayana, Mahabarata, Arjunawiwaha, Hariwangsa, Bharatayudha, Gatotkacasraya, Smaradahana, Sumanasantaka, Arjunawijaya, Sutasoma, Siwaratrikalpa, Parthayuajna, dan Kunjarakarna.

Kata kakawin berasal dari kata....., sehingga memiliki arti kata baru, yaitu karya.
Kakawin Sutasoma ditulis oleh penyair Mpu Tantular. Syair ini digubah pada zaman Raja Rajasanagara, atau Hayam Wuruk – ketika Majapahit berada di puncak kekuasaannya di paruh abad ke-14. Di bagian manggalanama Rajasanagara disebutkan. Dewa yang dipuja oleh sang penyair adalah Sri Bajranana, yang namanya tercantum di bait pertama teks Sutasoma. Kata istadewatapada bait pertama mengacu kepada Sri Bajrajnana. Kakawin Sutasoma diperkirakan ditulis dari tahun-tahun sesudah 1365 setelah Nagarakertagama diselesaikan, dan sebelum tahun 1389, ketika Rajasanagara telah mangkat....

(Hal. 113)
Bab XIII, bait 8 & 9

8.
Sang Naga dengan marah membelit dan menyemburkan bisa ke wajah dan mata Gajawaktra, yang tinggal tak tergerak dan tak terluka. Dia mau menggunakan baywagnyarddana (kekuatan angin api) untuk membakar lilitan sang naga, “Hai Durmukha, hentikan”, kata Sang Pangeran dan para pertapa. “Tidaklah tepat bagi seorang pendeta Buddha untuk membunuh lawannya!
(Durmukha adalah nama lain Gajawaktra. Sang Pangeran yg dimaksud adalah Pangeran Sutasoma – penulis blog)
9.
Karena gurumu, Bhatara Buddha berkehendak baik dan berbelas kasih kepada semua yang ada di seluruh triloka. Tidak seorang musuhpun yang boleh dibunuh. Dia hanya mengunakan kebijaksanaan suci untuk menembus pikiran lawannya. Pasti kemurkaan musuh akan hilang berganti hati yang suci dan musuhpun akan tunduk pada pikiran luhur sang pandita.

(Hal. 503)
Bab CXXXIX
1.
Sang Dewa sekarang menjadi murka sekali, karena semua senjatanya telah musnah. Kemudian dia mengubah wujudnya menjadi Kalagnirudra. Wajahnya menjadi sangat menakutkan, seolah-olah dia ingin meleburkan dunia ini menjadi debu. Mulutnya telah terbuka untuk menelan ketiga dunia.
2.
Para dewa berteriak-teriak dan khawatir menyaksikan pemandangan itu. Brahma, Wisnu, dan yang lainya turun memberikan sembah. Demikian juga Sakra, Baruna, Yama, Dhanendra, dan yang lain, diikuti oleh Kuwera, Gana dan Kumara.
3.
Semua resi dewa juga datang, melantunkan mantra Weda. Dan berdoa agar kehancuran dunia diurungkan. Mereka berkata: “Tuanku, engkau adalah guru kami. Janganlah melakukan hal ini! Punyailah belas kasih kepada makhluk-makhlukmu yang akan hancur sebelum berakhirnya zaman (yuganta).
4.
Meskipun keberanianmu dilipatkan seribu kali, karena engkau hendak mengalahkan raja Hastina, mustahil engkau bisa melakukannya. Meskipun dia seorang raja, namun beliau adalah titisan Buddha. Dan tidak ada perbedaan antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para Dewa.
5.
Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenal perbedaannya dengan selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua (Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa)
...

Popular Posts