Archives

gravatar

Francesco Forgione Pio, OFMCap: Mashyur Karena Stigmata


[artikel ini dicuplik dari Majalah Hidup terbitan 28 Juni 2009]

Namanya makin dikenal sejak ia mendapat karunia stigmata, yaitu luka-luka seperti yang diderita Yesus. Stigmata yang dialami Padre Pio adalah luka menganga di kedua telapak tangan, kaki, dan lambungnya. Luka-luka tersebut mengeluarkan darah terus menerus tetapi tidak menimbulkan infeksi.


Padre Pio dilahirkan di Pietrelcina, Italia Selatan, wilayah Keuskupan Agung Benevento, pada 25 Mei 1887. Nama aslinya Francesco Forgione, anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Grazio Forgione - Maria Giuseppa de Nunzio. Mereka keluarga petani sederhana.

Sejak kecil, menurut Peppa (Giuseppa), Francesco berbeda dengan anak lain. Dia jauh lebih religius. Pada usia 15 tahun, ia tertarik menjadi imam dan memilih Ordo Kapusin. Saat masuk novisiat, ia mendapat nama baru, Pio yang berarti saleh. Ia ditahbiskan sebagai imam, tahun 1910. Sejak itu, Francesco lebih dikenal sebagai Padre Pio atau Romo Pio. Hampir di sepanjang hidupnya ia tinggal di Komunitas San Giovanni Rotondo, sebuah desa pegunungan.

Semasa hidupnya, Padre Pio turut mengalami masa sulit selama Perang Dunia II. Ketika itu negara Italia harus berhemat. Roti-roti dijatah. Biara Komunitas San Giovanni Rotondo selalu kedatangan banyak tamu dan orang-orang miskin yang mengemis makanan.

Konon, pada suatu hari para biarawan pergi ke ruang makan mendapati keranjang roti hanya berisi dua pon roti, jumlah yang jauh dari cukup. Meski demikian, mereka tetap berdoa sebelum makan. Setelah itu, Padre Pio pergi ke gereja. Ketika kembali, di tangannya ada setimbunan roti. Kepala biara bertanya kepada Padre Pio: "Dari mana Padre mendapatkan roti sebanyak ini?" Padre Pio menjawab, "Seorang peziarah memberikan roti ini kepada saya dio depan pintu." Tak seorang pun memberikan komentar, tetapi setiap orang percaya bahwa hanya Padre Pio yang dapat bertemu dengan peziarah semacam itu.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Solidaritas dan Harapan Baru


[Cuplikan artikel di bawah ini bersumber dari tulisan Rm. Martin OFM yang ada di buku Teologi Politik terbitan Yayasan Bhumiksara Jakarta 2003.]
.......
Solidaritas kepada sesama manusia kadang dapat kita jadikan sebagai pedoman dan arah tindakan perealisasian iman kita juga. Dasar biblis-teologis yang menjadi cikal bakal ajaran sosial Gereja, yakni “kamu harus memberi mereka makan” (Mrk 6:37), menantang para murid untuk bersolider, berjuang demi sesama yang lapar, haus dan membutuhkan pertolongan. Untuk dapat bertindak solider, tidak perlu menunggu sampai orang menjadi kaya, tetapi harus segera dilaksanakan. Bertindak solider tidak dapat ditunda-tunda.

Solidaritas dapat juga menjadi acuan dan ukuran praksis iman kita. Hal ini menjadi nyata, kalau kita dihadapkan pada dasar biblis, khususnya Matius: “… Mari hai kamu yang diberkati oleh BapaKu, terimalah kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika aku lapar, kamu memberi Aku makanan; ketika Akku haus, kamu memberi Aku minum; ketika aku sakit, kamu merawat Aku. … Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan yuntuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Mat 25:34-36.40). Dengan demikian, solidaritas terhadap sesama itu tidak boleh ditawar-tawar lagi.


Klik ini untuk kelanjutannya

Popular Posts