gravatar

Ign.Suharyo: Luka-luka Sejarah Jangan Dikubur


Judul Artikel = Luka Luka Sejarah Jangan Dikubur
Dimuat di = Majalah BASIS, Juni 2000

(Pengalaman Beliau Tentang Ketulusan – Penulis Blog)
Pada akhir bulan November 1999 lalu, saya diutus oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia untuk menghadiri pertemuan World Conference on Religion and Peace (WCRP) yang ke-7, di Amman, Yordania. Saya berangkat dalam rombongan besar dari Indonesia. Di pesawat yang kami tumpangi, ada banyak TKW (Tenaga Kerja Wanita)

Tampak sekali bahwa pesawat terbang adalah benda asing bagi kebanyakan dari antara mereka. Saya duduk di samping Bapak Prof. Dr. A. Syafi’i Ma’arif, Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung. Sampai di Dubai, semua TKW turun. Kami pun harus berganti pesawat. Ketika mengemasi barang-barang, banyak saudari kita TKW yang tidak bisa memasukkan tasnya ke dalam bagasi atas, karena umumnya mereka pendek. Spontan Bapak Syafi’i , tanpa enggan membantu mereka. Suatu pemandangan yang menyentuh hati. Bapak Syafi’i bagi saya adalah pribadi yang tulus. Beliau menanggalkan segala macam atribut yang melekat pada dirinya dan menempatkan diri sebagai sesama bagi saudari-saudari kita itu.

Memaknakan pengalaman
(Kemudian menyampaikan ttng merpati sebagai lambang ketulusan dgn menghubungkan dgn nasihat “tulus seperti merpati” dan pelepasan merpati di Kisah Air Bah. Lantas menunjukkan suatu logo yang menggunakan merpati dan semboyan si vis pacem colle iustitiam, yg artinya “kalau Anda menghendaki perdamaian, tegakkanlah keadilan” . Kemudian melanjutkan uraian tentang ketulusan dengan lebih dalam.- penulis blog)

Ketulusan, tugas dan peluang
Jujur harus diakui dan diterima bahwa sejarah hubungan antarumat beragama, khususnya antara Islam dan kristen, bukanlah sejarah yang hanya baik dan mulus. Sejarah ini mencatat dan menyimpan berbagai macam konflik yang mengakibatkan luka-luka batin....

(Kemudian Ign.Suharyo menyebutkan Perang Salib di abad 11-13M, kolonialisme dan sikap Barat terhadap Islam, fenomena sikap “Bahaya Turki” yg berkembang di Barat sejak abad 15, sikap curiga dan pengesampingan yg dilakukan pemerintah Orde Baru di awal kekuasaannya, isu islamisasi, isu kristenisasi. – penulis blog)

... Sejarah dan akibat-akibatnya ini perlu kita akui dan terima dengan hati yang tulus. Kita perlu menyembuhkan luka-luka sejarah itu. Kita tidak boleh mengubur ingatan-ingatan itu.

Bebas dari belenggu
Sebaliknya, kita perlu berani mengingatnya dan membebaskan diri dari belenggu-belenggunya, meskipun kita tahu bahwa untuk menyembuhkan luka-luka sejarah itu kita harus menempuh jalan yang terjal. Akan tetapi, inilah tugas kita yang amat penting untuk masa kini agar kita mempunyai masa depan. Langkah berani inilah yang dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus I ketika beliau meminta maaf atas pelbagai dosa dan penyimpangan Gereja selama sejarahnya.

Ini pulalah kiranya yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang dengan tulus mengakui dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan pemerintah di masa lampau.

Popular Posts