gravatar

Nostra Aetate, (cuplikan)


(Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 menghasilkan 16 dokumen, yang terdiri dari 4 Konstitusi, 9 Dekrit dan 3 Pernyataan. Salah satu bagian dari hasil tersebut adalah Pernyataan “Nostra Aetate”, yaitu pernyataan Gereja Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristen. Buku terbitan KWI di bawah ini memaparkan Pernyataan “Nostra Aetate” yang disahkan 28 Oktober 1965 tersebut seutuhnya. Tulisan berikut adalah beberapa bagian 2,3 dan 4 dari terjemahan “Nostra Aetate” tersebut. -pen)



Judul Buku: Dokumen Konsili Vatikan II
Diterjemahkan dari naskah resmi bahasa latin oleh R. Hardawiryana, S.J.

(Bag 2, berkaitan dengan agama bukan kristiani-pen)
Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi ataupun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat relijius yang mendalam. Adapun agama-agama yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Demikianlah dalam Hindhuisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkannya dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usaha-usaha falsafah yang mendalam. Hindhuisme mencari pembebasan dari kesesakan keadaan kita entah melalui bentuk-bentuk hidup berulah-tapa atau melalui permenungan yang mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah penuh kasih dan kepercayaan. Buddhisme dalam pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memperoleh kebebasan yang sempurna, atau – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan dari atas – mencapai penerangan tertinggi. Demikian pula agama-agama lain, yang terdapat di seluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci.

Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allahmendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.

Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.

(Bag 3, secara khusus berkaitan dengan agama Islam-pen)
Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan suka rela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga manjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.

Memang benar, di sepanjang zaman cukiup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.


(Bag 4, berjudul “Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi”- pen)
Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu yang diciptakan menurut citra-kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan manusia dengan allah Bapa dan hubungannya sengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: “Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah” (1Yoh 4:8)

Jadi tiadalah dasar bagi setiap teori dan praktik, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa.

Maka Gereja mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau pengeniayaan berdasarkan keturuna atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus.
Oleh karena itu Konsili suci, mengikuti jejak para Rasul kudus Petrus dan Paulus, meminta dengan sangat kepada Umat beriman kristiani, supaya bila ini mungkin “memelihara cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1Ptr 2 :12), dan sejauh tergantung dari mereka hidup dalam damai dengan semua orang, sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi putera Bapa di sorga.

Popular Posts