Archives

gravatar

Kakawin Sutasoma Mpu Tantular


Judul buku = Kakawin Sutasoma Mpu Tantular
Penerbit = Komunitas Bambu, Agustus 2009
Penterjemah = Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo

Bagiku, buku yang mengulas Sutasoma merupakan “buku langka”. Menjadi langka karena isinya adalah hal sangat mendasar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, akan tetapi sedikit yang beredar di masyarakat. Dari sekian puluh ribu judul buku yang ada di Jogja, hanya ada sedikit yang mengulas Sutasoma, itupun beberapa yang dalam bahasa Inggris. Selain itu juga karena inspirasi2 spiritual yang sangat mengesankan, yang tentu saja tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Tulisan di bawah ini adalah bagian pengantar dari buku ini dan di bawahnya adalah bait yang aku pandang menarik.


(hal. xiii)
Sekilas Tentang Kakawin Sutasoma
Karya sastra Jawa Kuno adalah karya yang digubah oleh para pujangga di masa Jawa Kuno. Abad ke-9 adalah awal dari tradisi tulis sastra dengan bahasa/aksara Jawa Kuno, yaitu Ramayana. Tradisi tulis ini terputus cukup lama, hingga pada abad ke-13 – berdirinya Majapahit – tradisi karya tulis sastra ini kembali dan mengalami masa kejayaannya hingga akhir abad ke-14. Karya Sastra Jawa Kuno yang dianggap sebagai karya sastra besar dan melampaui zamannya adalah kakawin Ramayana, Mahabarata, Arjunawiwaha, Hariwangsa, Bharatayudha, Gatotkacasraya, Smaradahana, Sumanasantaka, Arjunawijaya, Sutasoma, Siwaratrikalpa, Parthayuajna, dan Kunjarakarna.

Kata kakawin berasal dari kata....., sehingga memiliki arti kata baru, yaitu karya.
Kakawin Sutasoma ditulis oleh penyair Mpu Tantular. Syair ini digubah pada zaman Raja Rajasanagara, atau Hayam Wuruk – ketika Majapahit berada di puncak kekuasaannya di paruh abad ke-14. Di bagian manggalanama Rajasanagara disebutkan. Dewa yang dipuja oleh sang penyair adalah Sri Bajranana, yang namanya tercantum di bait pertama teks Sutasoma. Kata istadewatapada bait pertama mengacu kepada Sri Bajrajnana. Kakawin Sutasoma diperkirakan ditulis dari tahun-tahun sesudah 1365 setelah Nagarakertagama diselesaikan, dan sebelum tahun 1389, ketika Rajasanagara telah mangkat....

(Hal. 113)
Bab XIII, bait 8 & 9

8.
Sang Naga dengan marah membelit dan menyemburkan bisa ke wajah dan mata Gajawaktra, yang tinggal tak tergerak dan tak terluka. Dia mau menggunakan baywagnyarddana (kekuatan angin api) untuk membakar lilitan sang naga, “Hai Durmukha, hentikan”, kata Sang Pangeran dan para pertapa. “Tidaklah tepat bagi seorang pendeta Buddha untuk membunuh lawannya!
(Durmukha adalah nama lain Gajawaktra. Sang Pangeran yg dimaksud adalah Pangeran Sutasoma – penulis blog)
9.
Karena gurumu, Bhatara Buddha berkehendak baik dan berbelas kasih kepada semua yang ada di seluruh triloka. Tidak seorang musuhpun yang boleh dibunuh. Dia hanya mengunakan kebijaksanaan suci untuk menembus pikiran lawannya. Pasti kemurkaan musuh akan hilang berganti hati yang suci dan musuhpun akan tunduk pada pikiran luhur sang pandita.

(Hal. 503)
Bab CXXXIX
1.
Sang Dewa sekarang menjadi murka sekali, karena semua senjatanya telah musnah. Kemudian dia mengubah wujudnya menjadi Kalagnirudra. Wajahnya menjadi sangat menakutkan, seolah-olah dia ingin meleburkan dunia ini menjadi debu. Mulutnya telah terbuka untuk menelan ketiga dunia.
2.
Para dewa berteriak-teriak dan khawatir menyaksikan pemandangan itu. Brahma, Wisnu, dan yang lainya turun memberikan sembah. Demikian juga Sakra, Baruna, Yama, Dhanendra, dan yang lain, diikuti oleh Kuwera, Gana dan Kumara.
3.
Semua resi dewa juga datang, melantunkan mantra Weda. Dan berdoa agar kehancuran dunia diurungkan. Mereka berkata: “Tuanku, engkau adalah guru kami. Janganlah melakukan hal ini! Punyailah belas kasih kepada makhluk-makhlukmu yang akan hancur sebelum berakhirnya zaman (yuganta).
4.
Meskipun keberanianmu dilipatkan seribu kali, karena engkau hendak mengalahkan raja Hastina, mustahil engkau bisa melakukannya. Meskipun dia seorang raja, namun beliau adalah titisan Buddha. Dan tidak ada perbedaan antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para Dewa.
5.
Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenal perbedaannya dengan selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua (Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa)
...


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Ign.Suharyo: Luka-luka Sejarah Jangan Dikubur


Judul Artikel = Luka Luka Sejarah Jangan Dikubur
Dimuat di = Majalah BASIS, Juni 2000

(Pengalaman Beliau Tentang Ketulusan – Penulis Blog)
Pada akhir bulan November 1999 lalu, saya diutus oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia untuk menghadiri pertemuan World Conference on Religion and Peace (WCRP) yang ke-7, di Amman, Yordania. Saya berangkat dalam rombongan besar dari Indonesia. Di pesawat yang kami tumpangi, ada banyak TKW (Tenaga Kerja Wanita)

Tampak sekali bahwa pesawat terbang adalah benda asing bagi kebanyakan dari antara mereka. Saya duduk di samping Bapak Prof. Dr. A. Syafi’i Ma’arif, Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung. Sampai di Dubai, semua TKW turun. Kami pun harus berganti pesawat. Ketika mengemasi barang-barang, banyak saudari kita TKW yang tidak bisa memasukkan tasnya ke dalam bagasi atas, karena umumnya mereka pendek. Spontan Bapak Syafi’i , tanpa enggan membantu mereka. Suatu pemandangan yang menyentuh hati. Bapak Syafi’i bagi saya adalah pribadi yang tulus. Beliau menanggalkan segala macam atribut yang melekat pada dirinya dan menempatkan diri sebagai sesama bagi saudari-saudari kita itu.

Memaknakan pengalaman
(Kemudian menyampaikan ttng merpati sebagai lambang ketulusan dgn menghubungkan dgn nasihat “tulus seperti merpati” dan pelepasan merpati di Kisah Air Bah. Lantas menunjukkan suatu logo yang menggunakan merpati dan semboyan si vis pacem colle iustitiam, yg artinya “kalau Anda menghendaki perdamaian, tegakkanlah keadilan” . Kemudian melanjutkan uraian tentang ketulusan dengan lebih dalam.- penulis blog)

Ketulusan, tugas dan peluang
Jujur harus diakui dan diterima bahwa sejarah hubungan antarumat beragama, khususnya antara Islam dan kristen, bukanlah sejarah yang hanya baik dan mulus. Sejarah ini mencatat dan menyimpan berbagai macam konflik yang mengakibatkan luka-luka batin....

(Kemudian Ign.Suharyo menyebutkan Perang Salib di abad 11-13M, kolonialisme dan sikap Barat terhadap Islam, fenomena sikap “Bahaya Turki” yg berkembang di Barat sejak abad 15, sikap curiga dan pengesampingan yg dilakukan pemerintah Orde Baru di awal kekuasaannya, isu islamisasi, isu kristenisasi. – penulis blog)

... Sejarah dan akibat-akibatnya ini perlu kita akui dan terima dengan hati yang tulus. Kita perlu menyembuhkan luka-luka sejarah itu. Kita tidak boleh mengubur ingatan-ingatan itu.

Bebas dari belenggu
Sebaliknya, kita perlu berani mengingatnya dan membebaskan diri dari belenggu-belenggunya, meskipun kita tahu bahwa untuk menyembuhkan luka-luka sejarah itu kita harus menempuh jalan yang terjal. Akan tetapi, inilah tugas kita yang amat penting untuk masa kini agar kita mempunyai masa depan. Langkah berani inilah yang dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus I ketika beliau meminta maaf atas pelbagai dosa dan penyimpangan Gereja selama sejarahnya.

Ini pulalah kiranya yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang dengan tulus mengakui dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan pemerintah di masa lampau.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Buddha said:


Dhammapada

We are what we think.
All that we are arises with our thoughts.
With our thoughts we make the world.
Speak or act with an impure mind
And trouble will follow you
As the wheel follows the ox that draws the cart.


We are what we think.
All that we are arises with our thoughts.
With our thoughts we make the world.
Speak or act with a pure mind
And happiness will follow you
As your shadow, unbreakable.

How can a troubled mind
Understand the way?

Your worst enemy cannot harm you
As much as your own thoughts, unguarded.
But once mastered,
No one can help you as much,
Not even your father or your mother.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Tom Jacob S.J.: "Vatikan II: Hidup atau Mati?"


Artikel ini adalah cuplikan atas tulisan Prof.DR.Tom Jacob, S.J. dlm Majalah Rohani, Juli 1993.... Semua itu berubah dengan Konsili Vatikan II, dimana orang untuk pertama kalinya mulai sadar akan keterbatasan Gereja dalam wujud kebudayaan Eropa. Dalam konfrontasi dengan kebudayaan-kebudayaan lain, khususnya dari Asia dan Afrika, Gereja menjadi sadar bahwa penampilannya dalam rupa Eropa tidak berasal dari Yesus, melainkan berkembang dalam peredaran jaman. Dan disadari pula bahwa apa yang berabad-abad lamanya menjadi rupa Gereja, ternyata tidak musti demikian. Juga bisa dengan cara yang lain.



Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Ign.Suharyo: Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita


Judul Buku=
The Catholic Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita

Buku ini berisi wawancara dgn Mgr.Ignatius Suharyo (Uskup Agung Semarang 1997 – 2009). Berikut adalah cuplikan-cuplikannya...











Sub judul 1: Menjadi Katolik Indonesia
Mengenai Iman, hal. 13:
... Rumusan-rumusan ajaran tentang Tritunggal ini praktis berasal dari Konsili Nicea (325) dan Konsili Konstantinopel (381). Dogma ini bukan ajaran baru yang berbeda dari yang terdapat dalam Kitab Suci, melainkan perumusan pemahaman atas wahyu dalam bahasa dan konsep-konsep zaman tertentu, budaya dan filsafat tertentu, yaitu Yunani....

Mengenai Perpecahan Gereja, hal. 21.
Yang disebut skisma Timur (1054) memecah Gereja Katolik menjadi Gereja Barat yang dipimpin Paus Leo IX dan Gereja Timur yang dipimpin oleh Batrik Konstantinopel Mikael Cerularius. Perpecahan dini disebabkan oleh alasan oleh alasan pribadi, ritual, dan sosio-budaya. Yang disebut skisma Barat (1378-1417) memecah Gereja Katolik menjadi tiga bagian yang masing-masing dipimpin oleh Paus, yang berkedudukan di Roma, Avignon, dan Pisa. Perpecahan ini disebabkan terutama oleh kepentingan raja-raja yang dibela oleh sebagian pangeran-pangeran Gereja. Perpecahan juga merupakan akibat dari praktek hidup Gereja pada waktu tertentu yang dianggap salah. Reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther – yang secara umum dikatakan memecah Gereja menjadi Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik – berawal dari praktek penjualan indulgensi oleh Tetzel OP pada tahun 1517. Dari itu berkembanglah perpecahan yang disebabkan oleh ajaran-ajaran yang semakin berbeda. Untuk memahami dengan baik perpecahan ini diperlukan studi yang sungguh-sungguh mengenai masalah-masalah kompleks yang ada di belakangnya.

Sub judul 2: Negara, Pancasila, dan Bonum Commune
Hal. 52:
... Statuta KWI yang disahkan pada bulan November 1987 menyatakan, “ Dalam terang iman Katolik, Konferensi Waligereja Indonesia berasaskan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (pasal 3).”

Sub judul 3: Dialog Antar Agama
Hal. 88 – 96 berisi tentang dokumen Konferensi Waligereja Indonesia yang berjudul “Partisipasi Kita dalam Memulihkan Martabat Manusia dan Alam Semesta (November 2001). Hal 95-96, berisi poinke 66 dokumen tersebut:
66. Maka dengan ini, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a.
b.
c.Tidak menyetujui siapa saja, termasuk jika ada dari kalangan Katolik sendiri, yang berusaha memaksakan ketentuan partikular agamanya ke dalam ketentuan-ketentuan umum secara formal, karena hal itu dapat dipandang sebagai usaha untuk membubarkan Negara Republik Indonesia.
d.Mendesak agar pemerintah berusaha dengan tegas dan tidak ragu-ragu untuk membela Negara Republik Indonesia dari usaha-usaha mengubah hakikatnya.
e.

Sub judul 4: Perdamaian dunia
Hal. 110:
Mengenai konflik dan perang, terutama antara Israel dengan Palestina, pertama-tama harus ditegaskan bahwa konflik ini bukanlah konflik agama. Namun salah satu hal yang membuat hubungan ini parah memang berkaitan dengan agama, yaitu isu agama digunakan untuk menghadapi masalah-masalah sekuler.

Hal. 113:
Hanya orang yang tidak paham yang akan melihat bahwa itu konflik antara orang Yahudi dan Islam karena banyak sekali orang dan tokoh Palestina yang menjadi korban adalah orang Kristiani juga. Yang pasti, serangan yang dilancarkan oleh Israel sama-sama perlu ditolak, seperti serangan Hamas pada Israel. Semua itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, tetapi karena serangan kedua pihak membunuh kehidupan.

Sub judul 7: Korupsi
Hal. 131, setelah berbicara mengenai bagaimana agama berperan menentang korupsi:

... Kalau agama- agama di Indonesia mau sungguh membantu bangsa ini, kumpul saja para pemimpin agama-agama itu, lalu menggerakkan seluruh umatnya untuk memulai gerakan habitus baru tidak korupsi. Saya kira kompetensi agama-agama terletak di situ karena agama tidak mungkin berkompetensi menerapkan hukum anti-korupsi secara sipil dalam tata negara. Namun jangan lupa bahwa lembaga agama yang paling suci pun tidak lepas dari godan untuk korupsi.



Sub judul 11: HAM dan Teologi Pembebasan
Hal. 170:
Penduduk di negara-negara Amerika Latin boleh dikatakan hampir seluruhnya Katolik, termasuk para pemimpinnya. Sementara itu sebagian besar penduduknya miskin atau amat miskin. Selama berabad-abad mereka ditindas, baik oleh bangsawan pada masa lampau, para penjajah, dan saat ini oleh para penguasa. Situasi seperti ini dilestarikan oleh kekuasaan untuk mempertahankan diri dan membela kepentingan orang-orang kaya (yang juga Katolik) dan tentu saja sekaligus menguntungkan penguasa itu sendiri. Sementara itu rakyat yang miskin dan tertindas itu tidak berdaya memperjuangkan nasib mereka. Situasi yang tidak adil yang amat menindas ini menimbulkan pertanyaan eksistensial atau bahkan pertanyaan iman yang mendasar...


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Louis Leahy : Sains dan Agama

Judul Buku : Sains dan Agama Dalam Konteks Zaman ini
Penulis : Prof.Dr.Louis Leahy, S.J.

...Penelitian-penelitian mereka (Isaac Newton, Kepler, Kopernikus, Galilei, Descartes -pen) yang berani telah membantu penetapan batas-batas berbagai tata pengetahuan secara lebih baik. Dalam hal ini mereka tidak selalu mendapat sambutan baik, dan bahkan Gereja sendiri memerlukan waktu lama untuk menerima dengan ikhlas titik pandangan mereka.

Pengalaman Galilei merupakan suatu ilustrasi yang khas tentang hal ini. Sungguh pengalaman itu pahit, namun jasanya tak ternilai bagi dunia ilmu serta gereja, karena membuat kita memahami dengan lebih baik hubungan antara kebenaran yang diwahyukan dan kebenaran-kebenaran yang ditemukan secara empiris. Ia sendiri mengesampingkan adanya suatu kontradiksi sejati antra sains dan iman: kedua-duanya berasal dari sumber yang sama dan harus dikembalikan kepada kebenaran pertama.
(hal 149-50, Pidato di Akademi Pontifikal Ilmu-ilmu Pengetahuan oleh Yohanes Paulus II, 20 Oktober 1986)

...Lalu, representasi geosentris alam semesta adalah sesuatu yang diakui secara universal dalam kebudayaan waktu itu (abad pertengahan -pen) sebagai yang sangat sesuai dengan ajaran kitab suci dimana beberapa istilah, kalau dibaca secara harafiah, seakan-akan merupakan suatu pembenaran mengenai geosentrisme. Masalah yang muncul dari para teolog waktu itu adalah kompabilitas antara heliosentrisme dan kitab suci.

Dengan demikian, sains baru, dengan metode-metode dan kebebasan riset yang diandalkan, memaksa ahli teologi untuk bertanya-tanya mengenai kriteria mereka sendiri dalam menafsirkan isi Kitab Suci. Namun kebanyakan dari mereka tidak mampu melakukan itu.

Secara paradoksial, Galileo, orang relijius yang jujur itu, tampak lebih cerdas daripada para teolog yang menjadi lawan-lawannya. "Meskipun Kitab Suci tidak bisa keliriu", tulisnya kepada Benedettto Castelli, :namun sementara penafsir dan komentatornya bisa keliru dalam berbagai cara."...
(hal 161, Pidato di akademi pontifikal Ilmu-ilmu Pengetahuan dari Yohanes Paulus II, 31 Oktober 1992)


"Jika terjadi kewibawaan Kitab Suci diperlawankan dengan sesuatu yang jelas dan pasti, itu berarti orang yang menafsirkan Kitab Sucilah yang tidak mengertinya secara benar."(kata Santo Agustinus -pen)
(hal 164)


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Norman P.Tanner, S.J.: Konsili Konsili Gereja - Sebuah Sejarah Singkat


Judul Buku = Konsili Konsili Gereja - Sebuah Sejarah Singkat
Penulis = Norman P.Tanner, S.J.
(tulisan miring adalah dari penulis blog berdasar buku itu)

(Konsili yang diakui sebagai Konsili Ekumenis baik menurut Gereja Barat maupun Gereja Timur adalah 7 konsili pertama. Istilah “Konsili Ekumenis” sendiri secara sederhana diartikan sebagai konsili yang mewakili seluruh Gereja tanpa melibatkan para rasul. Munculnya istilah ini untuk membedakannya dengan konsili-konsili lain yang lebih kecil lingkup nya, misalnya konsili2 lokal, juga dengan pertemuan yg dilakukan para rasul, misalnya “Konsili” Yerusalem oleh para rasul sebagaimana yang disebutkan dalam Bab 15 Kisah Para Rasul dan peristiwa Pentakosta.- rangkuman pen)


...(hal. 27)...
BAB SATU
Pada umumnya ada tujuh konsili yang diakui sebagai konsili ekumenis baik oleh Gereja Timur maupun oleh Gereja Barat karena konsili-konsili itu diadakan sebelum terjadi skisma dua Gereja Abad 11, yakni Konsili Nicaea I pada tahun 325, Konsili Konstatinopel I pada tahun 381, Konsili Efesus pada tahun 431, Konsili Kanseldon pada tahun 451, Konsili Konstantinopel II pada tahun 553, Konsili Konstatinopel III pada tahun 680-681, dan Konsili Nicaea pada tahun 787. Konsili-konsili ini kerap kali dibicarakan sebagai tujuh konsili Gereja Utuh Tak Terpecah dan menduduki tempat istimewa dalam tradisi kristiani.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Nostra Aetate, (cuplikan)


(Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 menghasilkan 16 dokumen, yang terdiri dari 4 Konstitusi, 9 Dekrit dan 3 Pernyataan. Salah satu bagian dari hasil tersebut adalah Pernyataan “Nostra Aetate”, yaitu pernyataan Gereja Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristen. Buku terbitan KWI di bawah ini memaparkan Pernyataan “Nostra Aetate” yang disahkan 28 Oktober 1965 tersebut seutuhnya. Tulisan berikut adalah beberapa bagian 2,3 dan 4 dari terjemahan “Nostra Aetate” tersebut. -pen)



Judul Buku: Dokumen Konsili Vatikan II
Diterjemahkan dari naskah resmi bahasa latin oleh R. Hardawiryana, S.J.

(Bag 2, berkaitan dengan agama bukan kristiani-pen)
Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi ataupun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat relijius yang mendalam. Adapun agama-agama yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Demikianlah dalam Hindhuisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkannya dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usaha-usaha falsafah yang mendalam. Hindhuisme mencari pembebasan dari kesesakan keadaan kita entah melalui bentuk-bentuk hidup berulah-tapa atau melalui permenungan yang mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah penuh kasih dan kepercayaan. Buddhisme dalam pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memperoleh kebebasan yang sempurna, atau – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan dari atas – mencapai penerangan tertinggi. Demikian pula agama-agama lain, yang terdapat di seluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci.

Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allahmendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.

Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.

(Bag 3, secara khusus berkaitan dengan agama Islam-pen)
Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan suka rela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga manjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.

Memang benar, di sepanjang zaman cukiup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Heru Prakosa, S.J. (Okt2007): Selamat Idul Fitri

Ucapan selamat hari raya Idul Fitri saat setiap akhir bulan Ramadhan banyak terlontar dari kalangan saudara-saudari Muslim dan non-Muslim. Tak terkecuali di akhir Ramadhan 1428 H/2007 M ini; sebuah surat berisi pesan dan salam hangat sempat melayang dari Vatikan.

Tradisi pengiriman surat dari Vatikan kepada kaum Muslim di pelbagai belahan dunia saat hari raya Idul Fitri telah berakar lama. Pada tahun 1993, Vatikan memperingati 25 tahun atas itu. Berarti, tradisi ini telah berlangsung sejak 1968. Hanya pada tahun 1991, kebiasaan itu sempat tak terlaksana. Namun, itu tak berarti tidak ada apa-apa yang terkirim dari Vatikan pada tahun itu. Semua pihak mengetahui, pada tahun itu terjadi Perang Teluk. Atas pertimbangan ini, Paus Yohanes Paulus II memutuskan untuk mengirim surat istimewa kepada kaum Muslim.

Memang pada akhir Ramadhan, dari Vatikan banyak terkirim surat dalam berbagai bahasa dan tidak berhenti pada ucapan selamat. Di dalamnya terkandung wacana tentang beberapa hal yang menjadi keprihatinan bersama umat Muslim dan Kristiani. Maksudnya, untuk mengadakan sharing religius yang berdasar pada—meminjam istilah Paus Yohanes Paulus II—iman Abraham akan Allah yang Esa, Maha Kuasa, dan Maha Rahim. Beberapa tema yang diangkat ialah penyerahan diri, kesaksian hidup, perjumpaan dalam semangat doa, kesatuan, solidaritas, keadilan, pembangunan dialog, nilai kemanusiaan di zaman teknologi, dan perdamaian.

Idul Fitri 1428 H/2007 M


Tahun ini, melalui Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beriman, Vatikan mengangkat tema "Umat Islam dan Umat Kristiani Dipanggil Memajukan Budaya Damai". Bentuk dan isi surat diringkas sebagai berikut.

Surat diawali penyampaian salam persahabatan. Lalu, kalimat-kalimat mengalir ke arah sharing religius, bermuara pada ajakan untuk membangun persaudaraan yang semakin meluas dalam semangat antikekerasan dan budaya damai. Disinggung pula perlunya dialog di antara umat Muslim dan Kristiani yang disertai kesaksian hidup atas dasar penghargaan antarsesama sebagai saudara seciptaan, menghindari munculnya kotak-kotak budaya atau agama.

Sementara itu, keluarga, pelaku dunia pendidikan, dan pemuka masyarakat—sipil ataupun keagamaan—memiliki tugas yang tidak sederhana. Mereka diharapkan mampu berperan aktif dalam mendampingi kaum muda sebagai pemegang tanggung jawab atas dunia di masa depan demi terciptanya solidaritas atas dasar nilai kemanusiaan universal.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Heru Prakosa, S.J.: Building Interreligious Dialogue as Survivors


written by: J.B. Heru Prakosa S.J.


"... Gereja seyogyanya mengembangkan dialog antar agama, sebagaimana yang pernah disampaikan Aloysius Pieris, bukan semata untuk menghargai kepercayaan orang lain agar masyarakat menjadi harmonis, tetapi untuk mengembangkan transofmasi sosial..."


..."Dalam hal ini, kita ingat apa yang telah disampaikan James Fowler berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan spiritual (eng:faith development). Sebagai seorang pastor Metodhis yang sekaligus theolog dan psikolog, beliau menandaskan bahwa di 2 tahap tertinggi perkembangan spiritual, seseorang telah memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan, sehingga dapat berjalan dari kenyamanan diri terhadap apa yang dianggapnya kebenaran mutlak menuju pada kepercayaan orang lain, sehingga orang itu memulai pencariannya terhadap nilai-nilai universal..."




Indonesia is characterized by great diversity, in terms of religion, ethnicity, race, culture, language, etc. According to the Indonesian Central Statistic Bureau (2000), it is reported that, in terms of religion, 88.22 percent of the population label themselves as Muslims, 5.87 percent as Protestants, 3.05 percent as Catholics, 1.81 percent as Hindus, 0.84 percent as Buddhists, and 0.2 percent as ‘others’, including traditional-indigenous believers.

“Catholics in Asia are a ‘small flock’.... [In a] context that is multi-ethnic, multi-religious and multi-cultural, one in which Christianity is often perceived as foreign, dialogue is typical of the life of the Church in Asia,” says John Paul II in his exhortation to the members of the post-Synod Council of the General Secretariat of the Synod of Bishops for the Special Assembly for Asia.[1] This must be valid for Catholics in Indonesia as well. In this regard, I would argue that, as such, interreligious dialogue should be promoted not merely to avoid conflicts. In addition, by raising the awareness of being survivors, Catholics in Indonesia should also take into account local wisdom.

Complexity of Coexistence among Believers in Indonesia

On January 2008, circa twelve students and two professors coming from the Jesuit School of Theology at Berkeley (JSTB) spent three weeks in Indonesia to do an immersion programme related to Islamic studies. In doing so, they were accompanied by some students and staff members from the Faculty of Theology of Sanata Dharma University. They found many interesting experiences, one of which is the time when they visited and stayed in two pesantren-s around the city of Magelang, in central Java.

The first pesantren is located at Kapuhan and called al-Tauhid al-Islami. Here, our fellows from JSTB had a difficult moment, since the Kyai and students of the pesantren, along with hundreds of Muslims from other places, bombarded them with many questions in the direction of a theological debate. Indeed, the situation was not conducive to have a friendly encounter. Instead of entering into a religious discourse with an apologetic polemic goal, some fellows from JSTB preferred to give witness about the cooperation they found among the people from various religious and cultural backgrounds around Sumber.

Then, in the following day, our fellows from JSTB visited the pesantren located in Pabelan whose distance, roughly speaking, can be reached, from al-Tauhid al-Islami, only in 15 minutes by car. The Pabelan pesantren is well-known, not only for the Indonesians, but also for the foreigners, as a prestigious school providing innovative education to 700 junior and senior high school students. In fact, in this second pesantren, they found a totally different situation. They received a warm welcome from the staff members and the students of the pesantren, in such a manner that they could get together and share each other peacefully. “It was so different, like the earth and the sky,” they said regarding their experience in al-Tauhid al-Islami and Pabelan pesantren.

What was undergone by our fellows from JSTB clearly reflects the complication and the complexity of religious encounter in Indonesia. This corresponds with the fact that, in 1999-2000, Muslims and Christians murdered one another in Molucca islands, but at the same time many people also made efforts by collecting humanitarian aid for both sides. One could remember, too, Riyanto, a 25-year-old Muslim fellow who was killed during his attempt to protect a church in Mojokerto, East Java, from a bombing attack related to an Islamic fundamentalist group.[2] Indeed, it is not hard to hit upon an unpleasant dialogue, and yet it is not difficult as well to find a fruitful religious encounter in Indonesia.

External and Internal Rationales for Interreligious Dialogue

Interreligious dialogue is often practiced just as a reactive effort in dealing with other believers in a certain context. Thus, in the case of Indonesia, dialogue is said to be important because pluralism is part of the reality in the country. Dialogue is also said to be necessary in Indonesia due the fact that it could keep away from the disintegration of the nation. The pooling conducted by a national daily news, Kompas, for 1540 holders of the telephone in some big cities in Indonesia, in relation to the problems needed to take into consideration by the country, for example, shows that 40,1 % of the respondents worried about the conflict among religions; 27 % about the conflict among the etnics; 8,8 % about the conflict among the suppoters of the politic parties; 7,7 % about the conflict between the poor and the rich; 5,9 % about the conflict between regions; and the rests said nothing to worry about.[3]

The arguments on the importance of the dialogue in Indonesia, as pointed above, are indeed reasonable. Those are, however, valuable as external rationales only. There must be some internal rationale for interreligious dialogue regardless of what the context is. In this matter, one could call to mind what James Fowler says with regard to the stages of faith development.[4] As a Methodist pastor who was at once theologian and psychologist, he argues that, in the two highest stages, believers have personal relationship with God, in such a manner that they move from self preoccupation with fixed truths to the opennes of others’ belief, and thus begin to search for universal values.

On that point, the parameter is not based on a certain cultural and religious background, but on universal values, such as love or justice. This could call to mind, for example, the story about Jesus in dealing with His disciples and the Samaritans.[5] In light of Fowler’s theory, one could say that interreligious dialogue, in which respect and opennes to other believers are imperative, is necessary because it is part of the consequence of his or her faith development. By referring to universal values, one is called for maturing his or her faith to the point that he or she would not limit his or her concern just to those who share the same religion with him or her. In this perspective, a believer would engage in interreligious dialogue with full of awareness, rather than just incorporate tolerance on demand.

Socio-Cultural Approach to Interreligious Dialogue: Learning from Sumber

The Church should promote interreligious dialogue, as Aloysius Pieris points out, not only in the sense of respect to other believers for establishing social harmony, but also for the sake of social transformation.[6] This becomes more urgent due to the fact that the locus of the Church in Asia, including in Indonesia, is characterized by various crisis situations, in terms of ecology, economy, and social.

Interreligious dialogue has been promoted in Indonesia in many forms, part of which took place in 1967, with Suharto’s programme called Musyawarah Antar Agama (Interreligious Dialogue).[7] And yet, it was carried out under government cooptation to find consensus for the sake of national stability. In some cases, interreligious dialogue was also promoted just as a means to support the agenda of the regime, such as how to deal with religious mission or to protect against proselytism. By this, interreligious dialogue is promoted to serve the interest of religion only. The awareness of a paradigm shift has just come up in 1980-s with a movement sponsored by Paramadina Foundation, and in 1990-s with the attempts made by INTERFIDEI (Interfaith Dialogue in Indonesia) or MADIA (Masyarakat Dialog antar Agama: Society for Interreligious Dialogue), and in 2000-s by IMPULSE (Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies). These groups have made efforts to promote interreligious dialogue as social critique in a way that can fight against poverty, injustice and fundamentalism.

The same idea has also been developed by Fr. Kirjito and the Catholics in his parish, along with other believers around Sumber. It is noteworthy that the Catholics there are small in number. The majority of the people embrace Islam as their religion. As Muslims, however, they do not practice their religion rigorously. They believe in God, the prophets and the messenger Muhammad; but at the same time they also believe in spirits or supernatural powers.[8] They neither pray five times a day nor fast during the month of Ramadhan. They are more properly called the practitioners of Javanese Islam, about which Geertz identifies as the heterodox abangan-s. [9]

In the spirit of openness, the Catholics in Sumber have worked together with other believers. Through a grassroots movement called Edukasi Gubug Selo Merapi (Education of the Stone Hut of Merapi), they raise awareness of environmental disaster. In addition, they also point out the benefit of water in the western slope of the Mount Merapi. It should be noticed that, for people around Merapi, this 2.968-meter mountain has two sides of a coin. On the one hand, the eruption of the Mountain of Fire, as Merapi means, can cause great disasters, as it occurred recently in 2006. On the other hand, Merapi is regarded as part of the wonder of nature and becomes a blessing to the people, due to which they could enjoy fertile lands with abundant natural resources or minerals, and particularly water.

Through Gerakan Masyarakat Cinta Air – that is to say the social movement to take care of water –people around Merapi, no matter what faith they embrace, collaborate in an explorative, creative and integrative way to highlight the significance of water. In this matter, they made many actions by taking into consideration a cultural aspect. This corresponds to the fact that some people still think of Merapi in relation to cultural myths.[10] Thus, some believe that an imaginary line runs between Merapi in the north, Yogyakarta Palace in the centre, and the Pacific Ocean in the south. Some others consider that the mountain is guarded by spirits whose names can vary from one region to another. Some more others believe that Merapi is personified as a living figure, called Simbah or Eyang, meaning ‘grandfather’. By this, people think that Merapi can make interaction with the surrounding communities in accordance with the way human beings behave. Indeed, people around the mountain are convinced that they know about the behaviour of Merapi more than anyone from outside the region.[11] They are also aware that, if they treat it appropriately, it will behave friendly to them, and vice-versa.

One should not forget the cosmological belief of ‘Kebatinan’ or ‘Kejawen’ held by the abangan-s in Sumber. The belief itself has been developed by Romo Yoso Sudarmo (1885-1990), an artist and a charismatic figure who then becomes the patron of the region.[12] He professed himself as a Muslim, although one could plainly notice that his tomb goes in the direction to East-West, not to North-South as usually Muslims are buried. By pointing up the creation of a cosmic order, he has encouraged the people in Sumber to strife for the establishment of a synchronized interaction between micro-cosmos and macro-cosmos. In this matter, through his cultural centre ‘Cipto Budaya’ (Creation of Culture) – that still survives nowadays with the support of his sons – Romo Yoso has promoted the spirit of non-violence, in the awareness that self, as one of the elements of the micro-cosmos, will affect family and society; and this will, in turn, have an effect on universe. The values emphasized here are, therefore, the well-balanced relationship between human beings, nature and the Almighty God.

Interreligious Dialogue and Local Wisdom: Implication in Terms of Methodology

The interreligious movement developed by people in Sumber points out the significance of local wisdom. As such, local wisdom would refer, as John Haba argues, to ‘any cultural enrichment that grows and develops in a society; it is known, believed, and acknowledged as important elements that can reinforce social cohesion among the people’.[13] Local wisdom can serve as the signifier of the identity of a society. At the same time local wisdom can also work for changing a way of thinking and a way of proceeding, for the establishment of brotherhood or sisterhood on the basis of common ground.

There are undeniably some positive points that can be derived from local wisdom with regard to interreligious dialogue. Indeed, local wisdom would elevate the role of the believers who live in a certain society to the point that they consider themselves as survivors. It would help them, as local people, to raise their awareness of being the main agents who make survival efforts to pursue interreligious dialogue in accordance with their customs and traditions. Consequently, it would also make possible for them to deal with the problems that arise among them ‘from within’.

As the term implies, ‘local wisdom’ would take the starting point ‘from below’ instead of ‘from above’. On this point, in one of the seminars, Fr. Kirjito put his movement in relation to the methodology of contextual theology as elaborated in the Faculty of Theology of Sanata Dharma University. He said clearly that his socio-cultural approach in dealing with interreligious dialogue has developed as a result of what he learnt from his study on theology, especially in the classes of ‘Theology of Hope’, ‘Theology of Salvation’, and ‘Theology of Work’. The core of this contextual theology is the attempt to do theological reflection with local resources.[14]

According to Banawiratma and Tom Jacobs, local resources mean people’s experiences, their life, their concerns, their traditions.[15] As such, experiences include personal, social, historical, cultural as well as religious dimensions. This attempt is made with full respect to the principle that is based on the process of going on from experience to experience through the communication with Christian traditions. It is also important to note that doing theology with local resources should take an interdisciplinary approach. Thus, it needs help from other disciplines, such as anthropology, sociology, psychology, history, etc.

The four moments needed to be taken into account for doing theology with local resources are experience, faith-concern, theological synthesis and pastoral planning. In the learning process, those four moments are subdivided furthermore into some steps.[16] With reference to experience, it would constitute the process of collecting data, formulating the experience, examining from different disciplines, and focusing the attention. Concerning faith-concern, it would cover moral and religious act, as well as faith-act. Then, with regard to theological synthesis, it would consist of the process to employ doctrinal traditions, to confront them with practice, to deal with non-Christian traditions, and to prepare a theological thesis. Finally, in relation to pastoral planning, it would comprise pastoral care and pastoral programme.

In terms of interreligious reflection, one should bear in mind the idea of ‘language game’ and ‘family resemblance’ as proposed by Wittgenstein.[17] In this matter, one should understand other religious traditions from the perspectives of those who hold those traditions, and thus not from his or her own points of view. After all, the main point of the methodology as illustrated above is to build a dialectical process between action, reflection and praxis.

Concluding Remarks

The socio-cultural approach to interreligious dialogue as promoted by the Catholics in Sumber indicates the commitment of the Church in Indonesia to take into consideration FABC’s triple dialogue: with poor people, cultures and religions. But then, what face of Christ the Church in Indonesia will witness in engaging interreligious dialogue?

One could remember, here, what John the Evangelist says in his Gospel on the question raised by Jude Thaddeus to Jesus.[18] Jude asked Jesus, “Master, how does it come about that you will reveal yourself to us and not to the world?” and Jesus replied, “Whoever loves me will keep my word, and my Father will love him; and we will come back to him and make our dwelling with him.” In this matter, Fedou puts emphasis on the idea of kenosis. He argues, “This passage first of all indicates that the revelation of the unique Christ is given to some, but not to all; of course one cannot use this particularity as a pretext for saying that Christ is not really unique, however, the fact remains that only the disciples – and more broadly speaking the members of the Christian community – received this revelation.”[19] And yet, one should keep aware of his or her responsiblity to love Christ and follow His Word.

Like a grain of wheat fallen to the ground, Jesus neither attempted to impose Himself nor attempted to be seen by all! This kenosis of Jesus would suggest that the necessity for ‘the third grade of humility’ [20] must come first. Accordingly, in the context of the Church in Indonesia in general, the spirit that should be more developed is the willingness ‘to learn from the others’ rather than ‘to teach the others’.



[1] http://www.asianews.it/index.php?l=en&art=1942

[2] It is noteworthy that one could find the name of Riyanto in the liturgical calender, on December 10, 2002, in one of the Dioceses in Spain. It is griten: ‘MÁRTIR MUSULMÁN: El gesto heroico de Riyanto, un joven musulmán Indonesia, que dio su vida por salvar la de otros conciudadanos católicos, sucedió en la pequeña aldea de Mojokerto, en la parte oriental de la isla de Java’.

[3] Kompas, August 16, 1999.

[4] Fowler, James, Stages of Faith: The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning, San Fransisco, Harper & Row, 1981.

[5] Luke 9: 53-54; 10: 25-37; 17: 11-19.

[6] Cf. Pieris, Aloysius, An Asian Theology of Liberation, Edinburg, Clark, 1988, pp. 61-62.

[7] See, the speech delivered by Suharto on November 30, 1967, in Hasyim, Umar, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam, Surabaya, Bina Ilmu, 1991, p. 393.

[8] Geertz, Clifford, The Religion of Java, London, The Free Press of Glencoe, 1980, pp. 16-29; Hefner, Robert, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princeton, Princeton University Press, 1985, pp. 69-76. Woodward, Mark, Islam in Java, Tucson, The University of Arizona Press, 1989, pp. 166-170.

[9] Abangan would mean ‘red’; and it is contrasted to putihan – meaning ‘white’ – that is to say santri or the orthodox trainee religious scholar. Geertz, Clifford, The Religion of Java, London, The Free Press of Glencoe, 1980, pp. 121-130. Woodward, Mark, Islam in Java, Tucson, The University of Arizona Press, 1989, pp. 142-143.

[10] Woodward, Mark, Islam in Java, Tucson, The University of Arizona Press, 1989, pp. 199-214. Ghozali, Ikhsan, “Paguyuban Sabuk Gunung Merapi: Kebijakan Lokal Managemen Bencana”, in Abdullah et al., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, pp. 117-118.

[11] Ghozali, Ikhsan, “Paguyuban Sabuk Gunung Merapi: Kebijakan Lokal Managemen Bencana”, in Abdullah et al., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, pp. 117-118.

[12] Baidhowi, Mohammad, “Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen: Studi Poskolonial Pandangan Kosmologi Romo Yoso dan Implikasinya bagi Warga Tutup Ngisor, Magelang”, in Abdullah et al., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, pp. 15-47.

[13] Haba, John, Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso, Jakarta, ICPI dan European Commission, 2007. Cf. Geertz, Clifford, Local Knowledge, New York, Basic Books, 1983, pp. 167-234.

[14] Banawiratma & Tom Jacobs, “Doing Theology with Local Resources; An Indonesian Experiment”, in East Asian Pastoral Review, XXVI-1, 1989, pp. 51-72.

[15] Banawiratma & Tom Jacobs, “Doing Theology with Local Resources; An Indonesian Experiment”, in East Asian Pastoral Review, XXVI-1, 1989, pp. 52.

[16] Banawiratma & Tom Jacobs, “Doing Theology with Local Resources; An Indonesian Experiment”, in East Asian Pastoral Review, XXVI-1, 1989, pp. 55-70.

[17] Hick, John, An Interpretation of Religion, New York, Palgrave Macmillan, 2004 (1-st published 1989), pp. 3-4; Ward, Keith, Religion and Revelation, Oxford, Oxford University Press, 1994, pp. 9-10, 53-54.

[18] John 14: 22-23.

[19] Fedou, Michel, “The Development of Interreligious Dialogue after the Second Vatican Council: A Theological Reflection”, in Pro Dialogo, 116-117/2-3, 2004, pp. 181-194.

[20] Cf. Ignace of Loyola, Spiritual Exercises, No. 167.


(Penterjemahan beberapa kalimat di paragraf 7 dan 9 ke Bahasa Indonesia oleh aku, pemilik blog.)



Klik ini untuk kelanjutannya

Popular Posts